Tubuh Tahu Kapan Kita Siap untuk Merasa
Pernahkah kamu terjatuh tapi tidak langsung merasa sakit? Lalu keesokan harinya, tubuhmu mulai terasa pegal-pegal di sana-sini?
Atau ketika tanganmu terkena pisau, tidak terasa apa-apa pada awalnya, namun beberapa menit kemudian rasa perih datang begitu kuat?
Saya pernah mengalami hal tersebut. Waktu itu saya jatuh dari sepeda karena menghindari batu di jalan. Saat kejadian, saya tidak merasakan luka yang berarti — hanya sedikit kotor dan terhempas ke tanah. Tapi keesokan harinya, tubuhku mulai terasa nyeri, terutama di bagian kaki.
Saya yakin, banyak orang pernah mengalami hal serupa. Tanpa sadar, kita merasa baik-baik saja sesaat setelah kejadian. Tubuh seolah kuat dan tidak terluka. Namun di waktu yang berbeda, tubuh mulai menunjukkan reaksi aslinya. Ia memberi tahu bahwa ada bagian yang sebenarnya sakit, hanya saja belum sempat kita rasakan.
Begitulah tubuh bekerja — ia menunda rasa sakit agar kita bisa bertahan di momen genting. Baru ketika keadaan aman, ia mengizinkan kita benar-benar merasa.
Menariknya, hal yang sama juga terjadi pada hati manusia.
Dia punya cara sendiri untuk melindungi kita dari runtuh terlalu cepat. Ia tahu kapan harus menahan sakit, menundanya sejenak agar kita punya waktu untuk bertahan.
Saat sesuatu menyakitkan terjadi — entah kehilangan, kegagalan, atau luka batin yang dalam — hati sering kali menekan rasa itu ke bawah permukaan. Bukan karena kita tak peduli, tetapi karena hati tahu kita belum siap.
Kita menahan diri dengan berbagai cara. Ada yang menenggelamkan diri dalam kesibukan, ada yang memilih tertawa seolah tak terjadi apa-apa, dan ada pula yang berdoa sambil menahan air mata yang nyaris jatuh. Semua itu bukan kepura-puraan, melainkan bentuk pertahanan diri. Hati dan pikiran bekerja sama agar kita bisa melewati hari-hari berat tanpa benar-benar hancur.
Lalu, ketika keadaan mulai tenang, ketika kita tak lagi sibuk melarikan diri dari kenyataan — barulah perasaan itu datang. Ia merembes perlahan, muncul dalam bentuk tangisan tanpa sebab, perasaan kosong yang tiba-tiba, atau kenangan yang kembali terasa nyata. Kadang, justru di saat hidup tampak baik-baik saja, luka lama itu datang menyapa lagi. Bukan untuk menyiksa, tetapi untuk akhirnya disembuhkan.
Tuhan, dengan kebesaran-Nya, memberi kita jeda antara peristiwa dan rasa. Jeda untuk bernapas. Untuk menata ulang diri sebelum menghadapi kenyataan sepenuhnya. Karena rasa sakit yang tertunda bukanlah tanda kelemahan — itu tanda kebijaksanaan tubuh yang tahu kapan waktunya kita kuat, dan kapan waktunya kita jujur mengaku lelah.
Mungkin ini cara Tuhan mengingatkan bahwa tidak semua luka harus langsung disembuhkan. Beberapa hanya perlu waktu. Tubuh dan hati akan tahu sendiri kapan saatnya menghadapi rasa itu, bukan untuk menyerah, tapi untuk pulih dengan utuh.
Baca juga : Gara-Gara Ekspektasi, Berujung pada Kekecewaan, Kecemasan & Kegelisahan
Maka, jangan salahkan diri kita jika rasa sakit baru muncul belakangan. Itu bukan tanda kelemahan, melainkan tanda bahwa tubuh dan hati kita sedang berusaha melindungi.
Ia tahu kapan harus kuat, dan kapan akhirnya boleh lelah.
Ia tahu kapan waktunya menahan, dan kapan waktunya membiarkanmu benar-benar merasakan.

