Kapan Kamu Memberi Waktu Ruang untuk Sekadar Duduk dan Berpikir? : Berhenti Sejenak, Duduk Diam & Biarkan Hidupmu Menemukan Arah
“Berpikir satu jam lebih baik daripada beribadah selama tujuh puluh tahun.” — Hadis Nabi Muhammad SAW
Kapan terakhir kali kamu benar-benar meluangkan waktu 1–2 jam hanya untuk berpikir? Bukan sekadar rebahan atau scrolling media sosial, tapi merenung secara jernih tentang hidup yang sedang kamu jalani?
Atau jangan-jangan, kamu bahkan belum pernah menyisihkan waktu sedetik pun untuk benar-benar memberi ruang bagi pikiranmu bernapas?
Itulah yang sedang saya rasakan dan renungkan akhir-akhir ini. Saya mulai membiasakan diri untuk menyediakan waktu khusus sekitar 1 hingga 2 jam sehari, hanya untuk berpikir.
Bukan berpikir tentang pekerjaan, bukan mikirin to-do list, tapi berpikir secara jernih tentang arah hidup, tentang keputusan-keputusan yang saya ambil, dan tentang apa sebenarnya yang paling penting untuk saya lakukan.
Di waktu ini, saya benar-benar memutuskan diri dari berbagai distraksi luar. HP saya silent. Notifikasi WhatsApp saya abaikan. Bahkan, kalau perlu, saya letakkan ponsel jauh dari jangkauan. Saya ingin menikmati waktu tersebut sepenuhnya untuk berpikir dan menyelami isi kepala dan hati saya sendiri.
Dan ternyata, waktu menyendiri seperti ini bukan membuang waktu justru sebaliknya. Dari sini saya bisa melihat hal-hal yang perlu diperbaiki, dikoreksi, bahkan dilepaskan.
Saya jadi lebih jujur pada diri sendiri: Apa saja aktivitas yang sebenarnya nggak penting tapi selama ini menyita banyak energi? Apa hal paling esensial yang harus saya jaga dan jalani?
Dari proses ini, saya belajar untuk memilih. Saya mulai berani meninggalkan hal-hal receh yang hanya bikin lelah tapi nggak berdampak apa-apa. Saya lebih fokus pada sedikit hal yang benar-benar penting yang memberi hasil, makna, dan arah.
Ternyata, sibuk bukan berarti produktif. Kadang, kita terlalu sibuk sampai lupa berpikir. Padahal, satu jam berpikir jernih bisa lebih bernilai dari tujuh puluh tahun aktivitas tanpa arah.
Apa yang Sebenarnya Penting?
Memberi ruang waktu untuk diri sendiri bukanlah keputusan yang muncul tiba-tiba. Langkah ini saya ambil setelah membaca sebuah buku yang cukup mengubah cara pandang saya terhadap hidup Esensialism karya Greg McKeown. Buku ini mengajarkan saya satu hal penting: pilih yang benar-benar penting, dan tinggalkan sisanya.
Makanya, saya mulai membiasakan diri untuk lebih selektif dalam menjalani hari. Tidak semua hal harus saya lakukan. Tidak semua undangan harus saya hadiri.
Tidak semua pekerjaan harus saya tangani sendiri. Untuk bisa memilah dan memilih ini, saya butuh waktu untuk berpikir. Waktu untuk merenung. Karena kalau tidak, saya akan terus terjebak dalam rutinitas tanpa arah.
Jujur, kadang saya merasa satu hari itu penuh dengan aktivitas sibuk ke sana kemari, bereskan ini, kerjakan itu sampai pada titik saya sendiri bingung mana yang harus diprioritaskan. Rasanya seperti dikejar-kejar pekerjaan yang nggak ada habisnya. Baru selesai satu, muncul lagi. Belum beres yang ini, datang tugas baru. Seperti lingkaran tak berujung.
Lalu, saya teringat satu kutipan dari buku Esensialism yang begitu mengena:
“Penting sekali menyisihkan waktu untuk menarik napas, untuk berpikir dan melihat sekeliling. Hal ini memerlukan kejernihan tingkat tinggi supaya dapat berinovasi dan bertumbuh.”
Kalimat itu seperti tamparan halus. Karena saya menyadari, selama ini saya terlalu sibuk sampai lupa menarik napas. Terlalu fokus menjalankan roda kehidupan, sampai lupa bertanya: Apakah roda ini mengarah ke tempat yang saya inginkan?
Coba kita renungkan bersama.
- Mungkin, kita merasa hidup begini-begini saja karena kita tidak pernah memberi ruang untuk berpikir secara jernih.
- Mungkin, kita merasa tidak ada perubahan, tidak ada kebahagiaan, karena kita terus melakukan hal-hal kecil yang sama yang kita tahu, sebenarnya tidak membawa perubahan apa-apa.
- Atau mungkin, kita merasa bingung membagi waktu antara pekerjaan, keluarga, dan ibadah, karena kita tidak pernah berhenti sejenak untuk menata ulang prioritas hidup.
Tiga fenomena ini, rasa stagnan, tidak bahagia, dan kebingungan membagi waktu, sering kali berakar dari satu hal yang sama: kita terlalu sibuk untuk berpikir.
Baca juga : Sejenak! Sedikitlah Melambat, Jangan Terus Berlari
Membebaskan Diri untuk Bisa Fokus
“Agar bisa fokus, kita perlu membebaskan diri untuk berfokus.”
Kalimat ini mungkin terdengar sederhana, tapi sangat dalam maknanya. Karena pada kenyataannya, fokus bukan soal kerja lebih keras, melainkan soal melepaskan beban-beban yang tidak perlu.
Kita tidak bisa benar-benar fokus jika pikiran kita selalu sibuk menanggapi notifikasi, email, breaking news, dan hiruk-pikuk media sosial yang tidak pernah berhenti.
Di era banjir informasi seperti sekarang, terlalu mudah bagi pikiran kita untuk tercemari. Kita dijejali berbagai berita, opini, dan konten viral yang belum tentu bermanfaat, bahkan seringkali menyesatkan. Kita terlalu cepat percaya, terlalu reaktif, dan terlalu lelah untuk memeriksa apakah yang kita terima itu fakta atau hanya sekadar hoaks.
Makanya, belakangan ini saya mulai membiasakan diri untuk benar-benar berhenti sejenak. Saya berikan ruang istirahat bagi pikiran. Saya cabut diri dari distraksi. Saya matikan notifikasi.
Saya tidak membuka media sosial dalam waktu tertentu. Dan di ruang hening itu, saya hanya duduk, berpikir, menyelami apa yang sebenarnya sedang saya rasakan dan pikirkan.
Ternyata, efeknya besar.
Saya merasa jauh lebih tenang. Dan secara mengejutkan, saya justru jadi lebih produktif terutama dalam menulis. Sebelumnya, saya sering merasa stuck. Bukan karena kekurangan ide, justru sebaliknya, saya punya terlalu banyak ide sampai bingung harus mulai dari mana. Kepala penuh, tapi kosong saat dituang kedalam kertas. Itu semua karena saya tidak memberi cukup ruang untuk memproses dan menyaring apa yang benar-benar penting.
Lihat saja sejarah. Banyak pemikir besar yang justru melahirkan gagasan luar biasa di tengah keheningan dan keterasingan.
Soekarno, dalam masa pengasingannya di Pulau Ende, justru mencetuskan dasar negara yang kelak dikenal sebagai Pancasila, sebuah visi besar lahir dari kesunyian.
Imam Al-Ghazali, setelah menarik diri dari hiruk-pikuk dunia selama sepuluh tahun, menghasilkan karya agung Ihya’ Ulumuddin, yang hingga hari ini masih menjadi rujukan utama dalam khazanah keilmuan Islam.
Bahkan Nabi Muhammad SAW, sebelum menerima wahyu pertamanya, meluangkan waktu menyendiri di Gua Hira selama 40 hari. Di sanalah beliau mengheningkan diri, menjernihkan hati, dan mempersiapkan diri secara spiritual untuk misi besar yang akan beliau emban.
Baca juga Menyadari Diri, Hadir Penuh Secara Utuh, Pada Hari ini, Saat ini dan Kini…
Dalam Diam, Hati Bisa Mendengar Lebih Jernih
Dalam kacamata agama, memberi ruang untuk menyendiri, berpikir, dan merenung bukan hanya diperbolehkan, tetapi sangat dianjurkan. Momen menyendiri ini menjadi jalan bagi seseorang untuk menyadari hakikat hidup yang sebenarnya. Ia mulai bertanya kepada dirinya sendiri: “Apa tujuan saya hidup? Untuk siapa saya lelah setiap hari? Sudahkah saya berjalan di jalan yang benar?”
Dari pertanyaan-pertanyaan itulah, pelan-pelan, jawaban akan muncul. Bukan dari luar, tapi dari dalam diri, dari hati yang tenang dan pikiran yang jernih.
Dalam tradisi tasawuf, praktik menyendiri ini dikenal dengan istilah uzlah. Di dalam Kitab Al-Hikam karya Syekh Ahmad Ibnu Atho’illah, uzlah dijelaskan sebagai jalan yang penuh manfaat bagi hati, karena dengannya seseorang bisa lebih mudah mengingat Allah dan merenungi ciptaan-Nya yang penuh keindahan dan kebesaran.
“Tidak ada sesuatu yang lebih memberikan manfaat kepada hati daripada uzlah. Karena dengan uzlah ia memasuki lapangan dalam bertafakur (berpikir).” — Hikmah ke-12, Kitab Al-Hikam
Uzlah bukan berarti harus pergi jauh ke hutan atau bertapa di gua. Dalam konteks kehidupan modern, kita bisa menciptakan ruang uzlah sendiri, di teras rumah saat pagi hari, di kamar saat malam mulai tenang, atau di sudut warung kopi saat sepi. Cukup jauhkan diri dari gangguan ponsel, notifikasi, atau keramaian digital. Lalu biarkan dirimu hadir di saat ini, kini dan sekarang. Diam. Duduk. Berpikir.
Mungkin, saat pertama kali mencobanya, kamu akan merasa canggung. Sunyi. Bahkan bosan. Wajar. Kita terlalu lama terbiasa dengan dunia yang sibuk dan bising, sampai lupa rasanya duduk sendiri tanpa melakukan apa pun.
Tapi, percayalah. Dari kesunyian itu akan lahir kejernihan. Kamu akan mulai melihat mana yang sebenarnya penting, mana yang selama ini hanya membebani. Hati menjadi lebih peka, lebih tenang, dan lebih terbuka untuk menerima hikmah-hikmah dari Tuhan.
Kejernihan berpikir bukan hanya membuat kita lebih bijak dalam mengambil keputusan, tapi juga mendekatkan kita pada nilai-nilai spiritual yang selama ini mungkin tertutup oleh kesibukan duniawi.
Baca juga Dengan Menyendiri, Kita Bisa Menyelam Lebih Dalam Tentang Diri Sendiri
Jadi, Kapan Kamu Mulai Memberi Ruang untuk Berpikir?
Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat.
Bukan untuk mencari jawaban instan, tapi untuk mulai berdialog dengan dirimu sendiri. Duduklah dalam diam. Biarkan pikiranmu jernih. Biarkan hatimu berbicara.
Karena bisa jadi, hal terbaik yang bisa kamu lakukan hari ini bukan menambah aktivitas, tapi menyediakan ruang kosong agar makna bisa masuk.
Rekomendasi Buku: Esensialisme — Pentingkan yang Penting Saja
Jika kamu merasa hidupmu terlalu penuh, sibuk tanpa arah, atau sering kelelahan karena terlalu banyak hal yang harus dipikirkan dan dikerjakan — mungkin inilah saatnya kamu berhenti sejenak dan memikirkan ulang: Apa yang benar-benar penting dalam hidupku?
Untuk kamu yang sedang berada di fase itu, saya sangat merekomendasikan buku berjudul “Esensialisme: Pentingkan yang Penting Saja” karya Greg McKeown. Buku ini bukan sekadar panduan produktivitas. Lebih dari itu, Esensialisme mengajak kita menyederhanakan hidup — bukan dengan menjadi pasif, tapi dengan berani memilih dan berkomitmen hanya pada hal-hal yang benar-benar bermakna.
Buku ini sangat cocok untuk:
- Kamu yang merasa kewalahan oleh rutinitas dan tanggung jawab yang menumpuk
- Kamu yang sering merasa sibuk, tapi hasilnya tidak sepadan
- Kamu yang ingin hidup lebih fokus, tenang, dan terarah
- Kamu yang ingin lebih bijak dalam mengelola waktu, energi, dan perhatian
Dengan gaya bahasa yang lugas namun dalam, buku ini membuka mata kita bahwa bekerja lebih keras bukan selalu jawabannya. Kadang, kita justru perlu berani berkata tidak pada banyak hal, agar bisa berkata ya pada hal yang benar-benar penting.
Kalau kamu tertarik membaca bukunya, kamu bisa mendapatkannya melalui Gramedia atau berbagai marketplace online. Klik tombol di bawah ini untuk langsung menuju halaman pembelian.
Sekian dulu dari saya, terima kasih sudah membaca sampai habis. Semoga kamu bisa mulai memberi ruang waktu untuk berfikir. Sukses untuk Anda semua, dan see you on the top…