web counters
Saat Tubuh Memintaku untuk Rehat
Mindfulness, Stories

Saat Tubuh Memintaku untuk Rehat

Malam ini, rasanya saya hanya ingin rebahan saja. Menatap langit-langit kamar, mendengarkan suara kipas yang berputar pelan, dan menikmati tarikan napas yang naik turun tanpa tergesa.

Ada rasa lelah yang tidak hanya di tubuh, tapi juga di kepala. Energi seakan benar-benar terkuras habis setelah seharian berlari dalam ritme hidup yang tak pernah memberi jeda.

Sejak pagi hingga sore, daftar kegiatan penuh sesak — meeting dengan klien, menyelesaikan proyek website, koordinasi dengan tim, revisi desain, sampai kembali membalas pesan klien yang masuk malam hari. Semua dilakukan dengan semangat, tapi di balik itu, tubuh dan pikiran perlahan menagih haknya: istirahat.

Biasanya, selepas magrib saya masih menyempatkan diri untuk terhubung dengan diri sendiri lewat menulis jurnal, membaca buku, atau membuat konten ringan sebelum tidur.

Tapi malam ini berbeda.

Rasanya tubuh benar-benar menolak diajak produktif. Saya menyerah. Menutup laptop, meletakkan ponsel di dada, lalu membiarkan waktu berlalu begitu saja. Scrolling media sosial tanpa tujuan, hanya untuk melihat dunia yang terus bergerak, sementara saya diam — dan ternyata itu pun cukup.

Lama-lama saya berpikir, sejak kapan kita menganggap istirahat sebagai bentuk kemalasan?
Sejak kapan diam sebentar menjadi tanda kita kalah dengan waktu?

Banyak orang bangga dengan kesibukan, seolah semakin sibuk berarti semakin berharga. Pekerjaan menumpuk dianggap pencapaian, waktu tidur yang sedikit dianggap bukti perjuangan.

Padahal, di balik semua itu, ada tubuh yang lelah dan jiwa yang perlahan kehilangan arah. Kita terlalu sibuk mengejar hidup, sampai lupa untuk benar-benar menghidupi hidup itu sendiri.

Kita terjebak dalam ilusi bahwa produktivitas adalah satu-satunya ukuran nilai diri. Hingga akhirnya, kita lupa bertanya: untuk apa semua ini dikejar, jika diri yang mengejar justru kehilangan nyawa?

Saya mulai belajar — bahwa hidup tidak harus selalu cepat, tidak harus selalu produktif. Ada kalanya, melambat justru membuat kita kembali sadar akan diri. Saya mulai berani menghapus sebagian to-do list yang terasa memaksa. Mulai membiasakan diri untuk berkata, “Cukup untuk hari ini ya.” Dan lucunya, dunia tidak runtuh hanya karena saya memilih berhenti sejenak.

Jika memang hari ini terasa berat, tak apa. Kita manusia, bukan mesin. Ada kalanya semangat tinggi, ada kalanya kosong dan hening. Justru di saat seperti inilah kita bisa mendengar suara tubuh dan hati sendiri.

Saya mulai belajar bahwa istirahat bukan pelarian, tapi bagian dari perjalanan. Seperti malam yang memberi ruang bagi pagi untuk lahir kembali, kita pun butuh jeda agar bisa kembali kuat menapaki hari esok.

Hidup tidak selalu tentang bekerja dan berlari. Ada banyak hal indah yang sering terlewat karena kita terlalu sibuk: tawa orang yang kita sayangi, aroma kopi di pagi hari, langit senja yang berubah warna perlahan. Semua hal sederhana itu adalah pengingat, bahwa hidup bukan perlombaan — ia adalah perjalanan yang layak dinikmati dengan sadar, pelan-pelan, tapi penuh rasa.

Baca juga : Apa yang Ingin Kamu Kerjakan Saat ini? : Refleksi Diri untuk Menemukan Hal yang Esensial

Pada akhirnya, istirahat bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kasih sayang terhadap diri sendiri. Di tengah dunia yang terus menuntut untuk bergerak cepat, melambat sejenak justru membuat kita kembali sadar — bahwa hidup bukan hanya tentang bekerja dan berlari mengejar pencapaian, tapi juga tentang menikmati setiap momen kecil yang sering terlewat.

Dengan memberi ruang bagi tubuh dan pikiran untuk beristirahat. Kita sedang memulihkan tenaga, menata ulang arah, dan mengingatkan diri bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari produktivitas. Melainkan dari keseimbangan antara bekerja, beristirahat, dan menikmati hidup dengan penuh kesadaran.

0Shares