Menjadi Konten Kreator Bukan Soal Konten, Tapi Soal Bertahan
Menjadi konten kreator adalah salah satu impian yang sudah saya tulis sejak empat tahun lalu. Tetapi mewujudkan impian itu bukanlah hal yang mudah. Ada rasa takut tampil di depan kamera, rasa tidak percaya diri, dan kebingungan mau membuat konten seperti apa—hal-hal yang hampir semua pemula pernah rasakan.
Namun di luar semua itu, tantangan terbesar justru terletak pada konsistensi. Untuk bisa bertahan dan dikenal di sosial media, kita tidak bisa hanya membuat satu atau dua konten lalu berhenti. Diperlukan strategi, perencanaan, dan komitmen untuk terus memproduksi konten secara berkelanjutan.
Tahun ini sebenarnya saya sudah bertekad untuk mulai konsisten membuat konten di berbagai platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube. Namun kenyataannya, semua itu belum bisa saya jalankan seperti yang saya rencanakan.
Padahal niat saya sebenarnya sangat sederhana: saya hanya ingin berbagi manfaat dari apa yang sudah saya jalani, pelajari, dan alami selama beberapa tahun terakhir.
Bukan cuma soal berbagi, tapi juga karena saya sadar bahwa personal branding di era sekarang sudah jadi kebutuhan penting. Baik untuk seorang profesional, pebisnis, pekerja kreatif, bahkan masyarakat umum sekalipun. Banyak orang yang awalnya biasa-biasa saja, namun karena konsisten membuat konten, mereka bisa dikenal, dipercaya, bahkan sukses membangun karier atau bisnis. Bukan semata-mata karena viral, namun karena mereka memberikan value yang relevan untuk orang lain.
Namun, menjadi konten kreator itu ternyata tidak semudah kelihatannya. Di balik konten satu menit yang kita lihat di sosial media, ada proses panjang yang melelahkan. Mulai dari memikirkan konsep, menulis skrip, mengambil gambar, mengedit, hingga mengunggahnya dengan caption yang tepat. Memulai konten saja sudah cukup berat, apalagi mempertahankan konsistensi. Dan itulah yang saya rasakan sekarang.
Meskipun saya cukup aktif menulis di personal blog, saya belum bisa menjaga ritme untuk hadir secara rutin di sosial media. Bukan tanpa alasan. Kesulitan terbesar saya adalah soal waktu, tenaga, dan fokus.
Aktivitas kerja yang cukup padat setiap hari membuat energi saya terkuras. Ketika malam tiba dan waktu luang mulai muncul, fisik sudah lelah dan pikiran sulit diajak fokus untuk membuat konten visual.
Padahal saya sudah membuat roadmap konten dengan rapi. Tema-temanya sudah siap, ide-idenya sudah tertata. Tapi eksekusinya belum bisa maksimal.
Ya… inilah yang akhirnya saya pahami sebagai sebuah proses. Setiap rencana punya ujiannya sendiri.
Lama-lama saya menyadari bahwa membuat konten bukan hanya sekadar “mengajar”, tapi soal bercerita. Wadah untuk merangkum perjalanan hidup, pengalaman, dan pemikiran yang saya alami sehari-hari.
Meskipun ada kendala yang sudah saya sebutkan diatas. Saat perjalanan saya menemukan ide dan arah baru. Dimana. kalau saya belum bisa maksimal membuat konten di media sosial, setidaknya saya harus lebih rajin menulis di personal blog.
Baca juga : Membangun Kebiasaan Menulis yang Berdampak, melalui Personal Blog
Setiap pembelajaran yang saya dapatkan harusnya tidak dibiarkan hilang begitu saja. Harus saya dokumentasikan. Entah itu cerita dari perjalanan membangun usaha, mendapatkan hikmah/pembelajaran dari membaca tafsir Al-Quran, atau pengalaman perjalanan.
- Belajar Business Mindset dari Anugerah Printshop & TDA Madiun
- Mengapa Orang Beriman Seharusnya Hidup Dengan Hati yang Tenang, Gembira & Bahagia?
- Touring Kedua : Tersesat Gara-Gara Kurang Persiapan dan Salah Memilih Jalur
Semua itu adalah bagian penting dari diri saya, dan blog adalah rumah yang nyaman untuk menyimpannya.
Alasan saya tetap ingin merambah media sosial juga sangat jelas: setiap platform punya karakter audiens yang berbeda. Blog cocok untuk mereka yang suka membaca dan punya daya kritis tinggi. Sementara sosial media menjangkau audiens yang lebih beragam, lebih luas, dan lebih cepat. Kalau ingin tumbuh, saya harus hadir di lebih dari satu tempat. Setiap platform seperti pintu yang membuka kesempatan baru.
Namun lagi-lagi, tantangan utama saya berada pada sumber daya: tenaga, waktu, dan fokus.
Menulis lebih fleksibel. Saya hanya butuh smartphone atau laptop, lalu mengalirkan pikiran satu per satu. Sementara konten visual membutuhkan proses lebih panjang—editing, aplikasi CapCut yang cukup berat, voice over untuk hasil maksimal, dan sering kali membutuhkan bantuan orang lain agar tidak menghabiskan waktu saya. Ini emang agak ribet sih.
Inilah realita saya sebagai seseorang yang ingin menjadi penulis, pemilik bisnis, sekaligus konten kreator. Kadang saya bertanya pada diri sendiri: apa saya mampu menjalankan semuanya? Namun setelah dipikir-pikir, jawabannya bukan soal mampu atau tidak, tapi soal bagaimana saya terus berproses. Yang penting bukan menjadi yang tercepat, tapi tetap bergerak.
Untuk teman-teman yang sedang memulai menjadi konten kreator, pesan saya sederhana: mulai dari yang paling mudah. Tidak perlu langsung membuat video yang rumit. Tidak perlu memaksakan diri untuk tampil setiap hari. Mulailah dari tulisan, seperti yang saya lakukan sekarang. Menulis bukan hal yang kuno. Bahkan, banyak konten kreator hebat muncul karena mereka punya fondasi menulis yang kuat. Dari tulisan, kita belajar menyusun cerita, membangun emosi, dan menyampaikan gagasan yang jelas.
Terakhir, tulisan panjang ini adalah pengingat untuk diri saya sendiri. Kalau belum bisa konsisten di sosial media, bukan berarti saya berhenti bercerita. Saya masih bisa berbagi melalui susunan kata demi kata. Dan dari sinilah perjalanan saya kembali dimulai—pelan-pelan, tapi pasti.
Terimakasih sudah membaca sampai habis. Sukses untuk kalian semua, dan see you on the top…

