Menikmati Hidup dengan Cara yang Berbeda
Waktu saya camping di Waduk Pondok, Ngawi, ada satu hal yang diam-diam jadi bahan perenunganku. Saat malam mulai turun dan udara semakin dingin, saya memperhatikan teman-teman di sekitar tenda. Masing-masing mengekspresikan kegembiraan dengan cara yang berbeda-beda.
Ada yang langsung bersemangat memancing di tepi waduk, berharap bisa membawa pulang hasil tangkapan. Ada yang duduk santai menikmati kopi panas ditemani sebatang rokok. Ada juga yang asyik scrolling media sosial, mungkin mengabadikan momen dengan caption yang keren. Dan ada satu orang yang memilih menulis di tengah suasana malam itu — ya, itu saya sendiri.
Dalam heningnya malam, hanya ditemani bolpoin dan secarik kertas, saya menulis apa saja yang muncul di kepala. Angin malam berhembus pelan, riak air waduk terdengar lembut, dan suara jangkrik di kejauhan terasa seperti musik latar yang menenangkan. Saya mengabadikan momen tersebut kedalam tulisan, karena begitu sayang memori ini hanya terlupakan begitu saja.
Di momen itu, saya benar-benar merasa hidup. Tidak sedang mengejar apa pun, tidak perlu berteriak bahagia. Cukup duduk diam dan menyadari : alam sedang berbicara dengan caranya sendiri.
Saya menatap teman-teman satu per satu, sibuk dengan dunia kecilnya masing-masing. Lalu saya tersenyum, sambil bergumam dalam hati, “Lucu ya, cara orang menikmati hidup itu ternyata berbeda-beda. Dan tak ada yang benar atau salah.”
Mungkin, justru saya yang paling aneh malam itu. Di tengah kebebasan alam, saat orang lain bersemangat dengan aktivitasnya, saya malah tenggelam dalam keheningan, menulis.
Tapi itulah diri saya. Di setiap perjalanan, baik di alam terbuka maupun di kota besar, saya selalu punya kebiasaan yang sama — duduk tenang, memperhatikan sekitar, dan membiarkan pikiran mengalir.
Pernah juga, waktu saya ke Malaysia, tepat di bawah Menara Kembar Petronas. Saya duduk di pagar dekat air mancur, sambil memperhatikan orang-orang yang lewat. Ada yang menari untuk konten TikTok, ada yang sibuk selfie dengan berbagai gaya, ada pula sepasang kekasih dari India yang justru bertengkar hebat di depan menara megah itu. Dalam hati saya hanya tertawa kecil, “Jauh-jauh ke Malaysia, eh malah pada berantem. Bukannya jalan-jalan dan bahagia, malah pada cemberut.”
Dari situ saya belajar satu hal sederhana: setiap orang punya caranya sendiri untuk menikmati hidup — ada yang lewat tawa, ada yang lewat diam. Ada yang merasa bahagia saat dikelilingi banyak orang, ada juga yang justru merasa damai ketika sendirian.
Dan saya? Mungkin saya tipe yang menikmati hidup lewat keheningan dan tulisan. Karena bagi saya, menikmati hidup tak selalu harus dengan teriak bahagia — kadang cukup dengan mendengarkan angin, memperhatikan air, dan membiarkan hati berbicara pelan-pelan.