Mengapa 10 Ribu untuk Kopi Terasa Murah, Tapi untuk Beli Buku Terasa Mahal?
Mengeluarkan uang 10 ribu untuk secangkir kopi atau camilan terasa sangat mudah dan spontan. Namun, bayangkan jika uang yang sama kita gunakan untuk membeli buku, komik, atau ebook. Seringkali, kita justru berpikir berulang kali, bahkan akhirnya membatalkan niat tersebut.
Saya sendiri pernah mengalaminya. Dulu, saya lebih memilih membeli makanan daripada buku. Saat itu, saya beranggapan bahwa buku bukanlah kebutuhan penting. Makan dan minum terasa lebih prioritas karena hasilnya langsung terasa: kenyang. Ini adalah realita yang dialami banyak orang. Maka, wajar jika jumlah orang yang gemar makan jauh lebih banyak daripada yang gemar membaca.
Banyak yang berpendapat bahwa mengejar ilmu tidaklah terlalu penting. Alhasil, mengeluarkan uang untuk “memberi nutrisi” pada otak terasa berat, meski hanya 10 ribu. Mereka percaya bahwa belajar tidak harus dengan membaca buku. Bisa melalui pergaulan, menonton video, atau berpegang pada prinsip yang didapat semasa sekolah. Hal itu tentu tidak sepenuhnya salah. Setiap orang memang punya caranya masing-masing dalam menjalani hidup. Tanpa membaca buku pun, seseorang tetap bisa hidup dan mencari nafkah.
Namun, di sisi lain, mengapa terjadi ketimpangan dalam memandang nilai ilmu? Mengapa mengeluarkan 10 ribu untuk ilmu dianggap mahal, sementara untuk secangkir kopi di kafe terasa begitu mudah?
Saya menyadari fenomena ini setelah membuka penawaran ebook gratis saya, “Siapakah Aku?”. Ada tiga orang yang awalnya berminat, namun ketika periode gratis ditutup dan saya tawarkan versi premiumnya seharga 10 ribu, tidak satu pun dari mereka yang merespons. Mereka enggan menginvestasikan uang sekecil itu untuk perkembangan diri dan keilmuannya.
Dari situlah saya tersadar: menjadi pribadi yang terus belajar memang tidak mudah. Terutama belajar melalui buku, yang notabene menawarkan keluasan dan kedalaman ilmu yang tak tergantikan.
Baca juga : (Premium) Ebook Siapakah Aku? : Cara Mudah untuk Mengenal Diri Sendiri
Membaca, Proses Bertumbuh dalam Sunyi
Mungkin ini sebabnya membaca terasa “berat” bagi banyak orang — karena ia mengajak kita menepi dari kebisingan. Ketika menonton video, kita cenderung pasif. Tapi saat membaca, otak dipaksa aktif.
Kita diajak berdialog dengan penulis, mempertanyakan makna di balik kalimat, menafsirkan, dan menyimpulkan. Di situlah keajaiban membaca: ia membentuk cara berpikir dan menajamkan kesadaran diri.
Membaca itu seperti bercermin. Kadang kita menemukan bagian diri yang belum pernah kita sadari sebelumnya. Kadang kita diingatkan pada sesuatu yang sudah lama kita abaikan.
Dan, semakin sering kita membaca, semakin luas pula ruang berpikir yang kita miliki untuk memahami hidup — bukan hanya dari apa yang kita lihat, tapi dari apa yang kita renungkan.
Baca juga : Bijaksana adalah Mahkota dari Sebuah Buku
Menjadi Pribadi yang Terus Belajar
Saya kini percaya, membaca adalah salah satu bentuk investasi diri paling sederhana, tapi juga paling berharga.
Tidak perlu buku mahal, tidak perlu waktu berjam-jam setiap hari. Yang penting adalah kesediaan untuk terus belajar, meski sedikit demi sedikit. Karena setiap lembar yang kita baca, selalu membawa satu hal baru — entah wawasan, pemahaman, atau bahkan ketenangan.
Dan pelajaran terbesar yang saya dapat dari pengalaman sederhana ini adalah: bertumbuh tidak selalu butuh langkah besar, tapi butuh kesadaran kecil yang dilakukan berulang-ulang.