“Leg Day” Paling Mengerikan: Saat Prajurit TNI Mengajariku Melawan Batas Diri di Gym
“Lagi latihan kaki, Mas?” Suara yang datang dari belakang saya. Ketika menoleh, saya langsung mengangguk dengan sedikit gentar. Di hadapan saya berdiri tegak seorang pria dengan otot lengan dan dada yang luar biasa besar. Pakaian coklat dan lambang khusus di seragamnya jelas menunjukkan: beliau adalah seorang anggota TNI dengan postur fisik yang sangat terawat.
“Iya, Pak. Hari ini fokus leg day,” jawab saya sambil mencoba terdengar percaya diri, meskipun alat leg extension yang sedang saya pakai terasa kurang meyakinkan.
Pria itu mendekat, lalu menunjuk ke alat yang saya gunakan.
“Mas, kalau latihan kaki, jangan pakai alat ini dulu. Alat ini untuk variasi saja, bukan yang utama. Seharusnya kaki Mas ‘dihajar’ dengan alat manual ini.” Jari telunjuknya mengarah ke sebuah rak beban bebas (free weight) yang dilengkapi dengan barbel. Ia menyarankan saya untuk melakukan squat dengan barbel.
Saya terdiam sejenak. Di dunia gym, saya masih terbilang sangat awam—baru sebulan rutin berlatih. Jadi pengenalan alat sangat masih minim sekali. Terkadang gerakan latihan saya masih ada yang salah.
Saya sendiri sering kali masih ragu dan enggan berlatih beban berat menggunakan alat manual. Sebagai pemula, saya cenderung memilih zona aman dan menghindari risiko cedera.
Namun, kali ini berbeda. Saya mendapat mentor dadakan yang dengan tulus mau mengarahkan, tanpa harus membayar personal trainer. Melihat ketulusan beliau berbagi ilmu, saya pun hanya bisa mengangguk patuh dan mengiyakan. Tanpa ragu, saya segera meninggalkan mesin yang terasa nyaman, dan menghampiri barbel yang terasa dingin.
Saya memosisikan barbel di bahu, memilih beban total b—angka yang terasa menakutkan bagi seorang pemula untuk teknik squat manual. Saya menarik napas dalam-dalam.
“Jangan membungkuk. Badan tegak!”
“Turun serendah mungkin.”
“Tumpu beban di tumit.”
Itulah arahan dari bapak-bapak yang sudah berumur 42 tahun, yang mengawasi saat saya pratek teknik squat.
Dengan napas tertahan, saya mulai bergerak turun, lutut tertekuk, pinggul ke belakang, persis seperti yang sering saya lihat di video tutorial, namun kali ini dengan beban nyata menekan tulang belakang. Rasanya sangat berat, jauh melebihi sensasi menggunakan mesin.
Tapi saya terus mendorong. Set pertama selesai. Set kedua. Dan seterusnya. Dorongan dari pria TNI itu seolah memberikan energi ekstra. Dalam kondisi awam, saya berhasil menyelesaikan lima set squat dengan beban 20 kg! Itu adalah pencapaian yang luar biasa bagi saya.
Begitu barbel diletakkan kembali, kaki saya langsung lemas, gemetar hebat. Rasanya seperti ada kabel yang dicabut dari sumber listrik; otot-otot benar-benar ngilu kehabisan tenaga. Saya tersungkur sejenak, menormalkan energi yang terkuras habis.
Setelah istirahat sebentar, saya melanjutkan latihan dengan variasi alat lain, namun pikiran saya terus memproses kejadian barusan.
Hal paling berharga yang saya dapatkan di gym hari itu bukanlah tentang teknik squat atau manfaat beban bebas, melainkan pelajaran mental.
Ketakutan terbesar yang saya miliki, takut cedera, takut tidak kuat adalah ketakutan yang saya ciptakan sendiri di pikiran. Ketakutan itu runtuh seketika begitu saya berani mencoba, apalagi didorong oleh arahan dari seseorang yang sudah berpengalaman.
Peristiwa singkat di dekat rak free weight itu mengajarkan saya lebih dari sekadar teknik mengangkat beban. Ini adalah pelajaran mental yang paling berharga yang saya dapatkan di gym.
Saya sadar: ternyata, batas kemampuan kita sering kali jauh melampaui apa yang kita bayangkan. Ketidakmampuan itu hanyalah suara keraguan yang kita ciptakan dan kita pelihara sendiri di dalam pikiran. Ketakutan terbesar takut cedera, takut tidak kuat, takut terlihat konyol adalah ilusi yang runtuh seketika begitu ada pendorong dari luar.
Dan sering kali, memang dibutuhkan intervensi yang berani dari figur eksternal, seperti bimbingan lugas seorang prajurit TNI, untuk membuktikan bahwa kita mampu melampaui batas psikologis yang kita pasang sendiri.
Kaki saya mungkin terasa lemas dan gemetar hari itu, tetapi mental saya baru saja ditempa menjadi sangat kuat. Ada perasaan puas luar biasa, sense of accomplishment, yang tidak pernah saya rasakan di mesin leg extension yang nyaman.
Bagi saya, ini adalah awal yang luar biasa dalam perjalanan gym saya. Sebuah pemahaman baru bahwa: untuk mendapat hasil yang maksimal, kita terkadang perlu didorong (presure) lebih keras, keluar dari zona nyaman, sebab di sanalah letak pertumbuhan dan kekuatan yang sesungguhnya.

