web counters
Apa yang Sebenarnya Kita Cari di Media Sosial
Mindfulness, Self Awareness

Apa yang Sebenarnya Kita Cari di Media Sosial? Hanya Mengejar Validasi atau Membangun Personal Branding!

“Saat hidup hanya diukur pengakuan dari luar, kita jadi kehilangan kebahagiaan dan keintiman dengan diri dari dalam.”

Akhir pekan lalu, saya memutuskan untuk ngopi santai di Telaga Ngebel. Suasananya ramai, khas weekend. Sejenak, untuk melepaskan penat pekerjaan yang lumayan hetik.

Saat sedang menikmati secangkir kopi hangat, tiba-tiba datang dua cewek mahasiswa. Mereka duduk tepat di depan saya, tampak santai.

Sekitar 10 menit setelah mereka datang, sambil menikmati kopi dan cemilan, tiba-tiba mereka berdiri dan mulai joget-joget di depan kamera ponsel.

Saya cukup kaget, bukan karena jogetnya, tapi karena mereka terlihat sangat percaya diri melakukannya di tempat umum yang cukup ramai.

Dari sebuah kejadian sederhana, pikiran saya melayang ke satu pertanyaan yang cukup mengusik: “Kenapa ya, anak-anak zaman sekarang hobi banget joget-joget? Apakah ini dampak dari TikTok yang mengubah cara manusia mengekspresikan diri?” Pertanyaan ini terus menggema di kepala saya.

Lalu, saya pun mulai merenung lebih dalam: “Kalau generasi muda Indonesia semakin hari semakin larut dalam euforia tren media sosial berburu viral, likes, dan views semata bagaimana masa depan bangsa ini nanti?”

Fenomena ini sering kamu temui akhir-akhir ini. Setelah kemunculan TikTok yang kian populer, wajah media sosial berubah drastis. Dulu, kita cukup eksis lewat unggahan foto.

Sekarang, video pendek dengan iringan musik dan tarian menjadi norma baru. Joget jadi semacam bahasa universal untuk mencari perhatian.

Memang, hal seperti ini sudah dianggap biasa. Wajar! Tapi coba kita tarik napas sebentar dan berpikir dengan sudut pandang yang lebih luas. “Apakah dengan berjoget mengikuti tren akan memberi dampak nyata bagi kehidupan kita? Atau justru kita hanya sedang mengejar validasi sesaat, yang setelahnya kosong kembali?”

Bukan berarti menari atau mengikuti tren itu salah. Tapi yang kurang itu jika kita menari hanya dipenuhi dengan hasrat ingin dilihat, diakui, dan diviralkan, kita perlu bertanya kembali pada diri sendiri: “Untuk apa semua ini?

Karena di balik jogetan yang tampak seru, mungkin tersembunyi kegelisahan yang belum sempat dimaknai.

Back stories inilah yang akhirnya mendorong saya menulis artikel ini tentang aktualisasi diri, personal branding, dan fenomena tren media sosial yang semakin membentuk cara manusia berpikir dan bertindak saat ini.

Saya percaya, media sosial itu layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menjadi alat yang luar biasa untuk membangun diri, memperluas jaringan, hingga membuka peluang. Tapi di sisi lain, jika digunakan tanpa kesadaran, media sosial juga bisa perlahan mengikis nilai-nilai, bahkan jati diri seseorang.

Dalam hierarki kebutuhan manusia, aktualisasi diri adalah kebutuhan tertinggi dorongan untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Maka tak heran jika kita sering melihat orang membagikan pencapaian, momen keseharian, hingga potret kehidupan yang tampak ‘sempurna’ di media sosial. Itu bukan sekadar pamer; mereka sedang memenuhi kebutuhan psikologis yang sangat manusiawi: ingin diakui, ingin bermakna, ingin disanjung, atau ingin dipuji.

Namun, ketika aktualisasi diri bergeser menjadi candu validasi di mana setiap langkah diukur dari jumlah likes, views, atau komentar di situlah masalah mulai muncul.

Bukannya menemukan kebahagiaan sejati, seseorang justru bisa merasa makin kosong. Karena saat hidup hanya diukur dari pengakuan luar, kita jadi kehilangan keintiman dengan diri sendiri.

Akhirnya, banyak orang tampak “sibuk menjadi“, tapi lupa “untuk merasa“. Sibuk tampil keren, tapi lupa untuk jujur dengan isi hati. Inilah ironi media sosial: semakin terhubung, tapi kadang justru semakin kehilangan arah. Semakin banyak follower, semakin merasa kosong dan kesepian.

Jadi, mari kita gunakan media sosial bukan hanya untuk tampil, tapi juga untuk bertumbuh. Bukan cuma untuk menunjukkan siapa kita di luar, tapi juga menguatkan siapa kita dari dalam.

Baca juga : Ganti Kebiasaan Scrollingmu dengan Membaca: Supaya Hidupmu Lebih Seru, Tanpa Banyak Drama!

Membangun Personal Branding

Beda cerita kalau kita bicara soal personal branding. Ini bukan sekadar ingin dilihat atau divalidasi orang lain.

Personal branding punya tujuan yang lebih spesifik entah untuk membangun reputasi, memperkuat nilai diri, atau meningkatkan peluang bisnis. Dari sini, benefit-nya bisa lebih konkret: kepercayaan, peluang kerja, hingga penghasilan.

Ya, tetap ada unsur ingin diakui atau divalidasi, tapi sifatnya lebih terarah dan terukur. Bukan sekadar unggah status atau story tentang aktivitas harian yang nggak ada tujuannya.

Kalau cuma asal posting biar dapat like dan komentar, atau ikut-ikutan tren joget biar viral tanpa tahu tujuannya, itu malah bisa jadi kegiatan yang buang-buang waktu saja.

Sayangnya, ini yang sering kurang disadari banyak orang. Media sosial digunakan tanpa arah yang jelas, tanpa manfaat yang nyata. Akibatnya, waktu habis, energi terkuras, tapi nggak ada value atau income yang dihasilkan.

Baca juga : Membangun Kebiasaan Menulis yang Berdampak, melalui Personal Blog

Mari, Sudah Saatnya Dewasa Bersosial Media

Kedewasaan dalam menggunakan media sosial adalah hal yang semakin penting di era digital yang semakin bising dan penuh distraksi.

Sayangnya, masih banyak masyarakat Indonesia, terutama anak-anak muda yang mudah terbawa arus tren tanpa memahami makna di baliknya. Joget mengikuti lagu yang sedang viral, membuat konten demi kesenangan sesaat, atau berburu likes dan views semata, menjadi kebiasaan yang seolah dianggap wajar.

Jika pola ini terus dibiarkan, kita berisiko kehilangan kualitas sebagai individu yang sadar akan arah hidupnya. Alih-alih menjadikan media sosial sebagai alat untuk tumbuh dan berkembang, kita justru bisa tenggelam dalam dunia maya yang tak memberi kejelasan makna.

Saya pribadi pun terus belajar untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Setiap konten yang saya unggah, saya usahakan membawa value—nilai yang memberi manfaat, baik untuk diri saya sendiri maupun untuk orang lain.

Saya percaya, media sosial bisa menjadi sarana membangun personal branding, terutama untuk mendukung bisnis dan karya yang sedang saya bangun.

Dalam setiap unggahan, saya selalu menyisipkan unsur edukasi, pengetahuan, atau sudut pandang yang memberi inspirasi. Tujuannya bukan sekadar tampil atau pamer kegiatan, tapi mengajak followers saya untuk tumbuh bersama menuju arah yang lebih baik.

Dari pengamatan saya, masih banyak pengguna media sosial di Indonesia yang belum sepenuhnya dewasa dalam bermedia. Sebagian besar masih menggunakan platform ini hanya untuk mencari validasi dan apresiasi, bukan menyampaikan hal yang bermakna.

Padahal, konten yang kita bagikan bisa lebih dari sekadar curhat atau pamer. Ia bisa berupa edukasi, informasi, hiburan yang sehat, atau motivasi yang mencerahkan.

Dan percayalah, jenis konten seperti ini akan lebih berdampak positif, tidak hanya bagi orang lain, tapi juga bagi perkembangan diri kita sendiri.

Baca juga : 8 Manfaat Jika Kamu Mengenal Diri Sendiri : Mengungkap potensi tersembunyi dalam diri, untuk bisa sukses mewujudkan mimpi!

Berhenti Sejenak: Apa yang Sebenarnya Kita Cari di Media Sosial?

Kadang, dalam riuhnya scroll tanpa henti dan gemerlap notifikasi yang terus berdatangan, kita lupa satu hal penting : untuk berhenti sejenak dan benar-benar sadar.

Mari kita luangkan waktu satu-dua menit saja, untuk menarik napas dalam, dan merenung sejenak.

  • Sebenarnya, apa sih yang selama ini kita lakukan di media sosial?
  • Ketika kita membagikan story, mengunggah konten, atau menuliskan caption yang catchy, apa tujuan dari semua itu?
  • Apakah sekadar ingin terlihat aktif? Ingin di-notice? Ingin berbagi cerita? Atau… tanpa sadar, hanya ingin mengisi kekosongan?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk kita ajukan, bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengenali diri sendiri lebih jujur.

  • Apakah aktivitas kita di media sosial benar-benar memberi manfaat? Untuk diri kita? Untuk orang lain? Ataukah semua itu hanya rutinitas tanpa makna yang perlahan menguras energi tanpa kita sadari?

Media sosial sejatinya adalah alat. Ia netral. Tapi cara kita menggunakannya menentukan apakah ia akan memperkaya hidup atau justru mengaburkan arah.

Maka dari itu, penting bagi kita untuk kembali ke niat awal.

  • Apakah setiap unggahan yang kita buat punya makna?
  • Apakah kita benar-benar hadir secara penuh, atau hanya sekadar ikut tren agar tidak merasa tertinggal?

Terkadang, di balik satu unggahan, tersembunyi rasa ingin didengar, dilihat, atau dimengerti. Tapi semua itu hanya akan terasa utuh jika kita pun mulai mendengarkan, melihat, dan memahami diri sendiri terlebih dahulu.

Kesimpulan: Saatnya Mengembalikan Makna di Balik Setiap Unggahan

Kini saatnya kita menggunakan media sosial dengan lebih bijak dan penuh kesadaran. Entah itu untuk aktualisasi diri, membangun personal branding, atau sekadar berbagi cerita.

Pastikan selalu ada nilai yang ingin kita bawa dan kontribusi yang ingin kita bagi.

Setiap klik, setiap unggahan, setiap kata yang kita bagikan, semua punya potensi untuk membentuk persepsi, memengaruhi orang lain, bahkan menginspirasi.

Maka, mari kita gunakan media sosial bukan hanya untuk terlihat, tapi untuk berdampak. Bukan sekadar mengikuti tren, tapi menjadi pribadi yang otentik dan bernilai.

Karena pada akhirnya, media sosial hanyalah cermin. Dan bagaimana kita menggunakannya, mencerminkan siapa kita sebenarnya.

Terima kasih sudah membaca sampai habis, sukses untuk Anda semua dan see you on the top…

0Shares