Apa yang Ingin Kamu Kerjakan Saat ini? : Refleksi Diri untuk Menemukan Hal yang Esensial
Beberapa waktu lalu saya membaca buku Essentialism karya Greg McKeown dan jujur, rasanya seperti ditampar. Buku ini menyadarkan saya tentang betapa banyak aktivitas yang saya lakukan setiap hari, ternyata bukan hal yang benar-benar penting.
Ada satu pertanyaan dari buku itu yang bikin saya terdiam cukup lama:
“Apa yang sebenarnya ingin kamu kerjakan saat ini?”
Saya merenung, dan jawabannya langsung muncul dari dalam hati:
Saya ingin menulis. Ingin menghasilkan karya.
Menulis bukan hanya aktivitas bagi saya. Ini adalah cara saya mengeluarkan isi kepala, menyampaikan ide dan gagasan. Tapi sayangnya, meski hati saya tahu arah yang dituju, realita kehidupan masih belum sepenuhnya memungkinkan saya menekuni keinginan itu secara maksimal.
Bukan tanpa sebab. Beberapa job desk di Berdikari Media memang masih membutuhkan kehadiran saya secara langsung. Ingin rasanya mendelegasikan sebagian tanggung jawab ke tim, tapi kondisi dan struktur yang ada saat ini masih belum cukup untuk saya melakukan hal tersebut.
Dengan kondisi seperti ini, saya tidak merasa menyesal atau kecewa. Justru saya merasa tertantang, bagaimana caranya menyeimbangkan impian pribadi dengan ritme bisnis yang juga sedang berkembang yang cukup menyita energi?
Saya tidak ingin memilih antara keduanya. Karena saya percaya, keduanya bisa berjalan beriringan, asal saya tahu mana yang penting, dan mana yang bisa saya lepaskan.
Buku Essentialism membantu saya melihat itu. Bahwa hidup bukan tentang melakukan semuanya sekaligus, tapi memilih yang paling bermakna, dan mengerjakannya dengan penuh kesadaran.
Saya ingin menulis bukan hanya sebagai hobi, tapi sebagai jalan hidup. Sambil secara perlahan, saya menyusun ulang skala prioritas dan mengatur ulang energi yang harus saya fokuskan. Supaya impian saya ini bisa mendapat tempat yang layak di tengah kesibukan yang ada.
Entah kenapa, sejak dulu saya punya impian untuk menulis.
Aktivitas menulis membuat saya merasa hidup. Lewat menulis, saya bisa bekerja dari mana saja, kapan saja. Nggak terikat ruang dan waktu. Saya bisa duduk di kafe kecil di sudut kota, di beranda rumah sambil menyeruput kopi, atau bahkan di perjalanan dan tetap merasa produktif.
Lebih dari itu, menulis memberi saya kebebasan. Saya bisa menumpahkan apa pun yang ada di kepala, ide, keresahan, mimpi, pertanyaan, bahkan kegembiraan-kegembiraan kecil yang sering terlewat. Dan yang paling menyenangkan, lewat menulis, saya bisa menjalani tiga hal yang selama ini saya dambakan:
jalan-jalan, menghasilkan uang, dan memberi dampak.
Tapi kenyataannya, saya belum bisa sepenuhnya hidup dari menulis. Di sela-sela waktu senggang, saya masih tetap menulis dan sesekali menghasilkan karya. Tapi kalau ditanya apakah sudah maksimal? Jawabannya: belum.
Energi yang terbagi, waktu yang sempat, fokus yang sering teralihkan, semua itu membuat banyak karya yang seharusnya bisa selesai, justru tertunda. Ide sudah ada, semangatnya pun ada. Tapi eksekusinya belum konsisten.
Baca juga : Contoh Membuat To Do list Harian, Supaya Lebih Produktif Setiap Harinya
Salah satu impian besar saya tahun ini adalah menerbitkan satu buku. Sebuah karya utuh yang bisa saya persembahkan, bukan hanya untuk pembaca, tapi juga untuk diri saya sendiri sebagai bukti perjalanan. Sayangnya, sampai saat ini naskahnya baru selesai sekitar 30%. Masih jauh dari target.
Tapi saya nggak menyalahkan keadaan. Saya justru melihat ini sebagai titik balik. Saatnya saya mulai lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar esensial.
Saatnya mengevaluasi ulang : mana pekerjaan yang masih harus saya pegang, dan mana yang sebenarnya bisa saya delegasikan ke tim.
Karena kalau saya terus menunda apa yang penting demi mengurus yang mendesak, lama-lama saya bisa kehilangan arah. Dan saya nggak mau itu terjadi.
Buku Essentialism mengingatkan saya, bahwa kita nggak harus mengerjakan semuanya. Kita hanya perlu mengerjakan hal yang paling bermakna, dengan penuh kesadaran.
Sering kali, kita merasa sibuk setiap hari. Waktu terasa habis begitu saja, tapi anehnya, kita tidak merasakan hidup yang sebenarnya. Kita terus berlari, dikejar target ini dan itu, seolah-olah ada garis finis yang harus segera dicapai. Tapi kenyataannya, garis tersebut tak pernah sampai.
Lama-lama, hidup berubah jadi rutinitas kosong.
Hari-hari berlalu, tapi tak menyisakan rasa.
Kita sibuk, tapi lupa kenapa kita sibuk.
Kita hidup, tapi lupa untuk hadir sepenuhnya.
Yang lebih menyedihkan, kita sering tidak sadar bahwa kita sedang mengabaikan hal-hal paling penting dalam hidup, hubungan, kesehatan, mimpi, dan bahkan diri kita sendiri.
Buku Essentialism membuat saya menatap realita itu lebih jernih. Saya jadi sadar bahwa menjadi produktif itu bukan soal menyelesaikan sebanyak mungkin hal dalam satu hari. Produktif bukan berarti penuh dengan to-do list dari pagi sampai malam tanpa jeda.
Justru, produktif berarti kita tahu apa yang benar-benar penting. Kita bisa memilah mana yang esensial dan mana yang hanya sekadar distraksi. Produktif berarti kita sadar dan hadir saat mengerjakan hal yang bermakna, bukan hanya yang mendesak.
Dan bagi saya pribadi, buku ini membuka mata saya lebih lebar. Bahwa hidup yang bermakna bukan tentang menjadi sibuk, tapi tentang menjadi terarah.
Bukan tentang mengisi waktu, tapi tentang mengisi makna.
Kehidupan ini terlalu singkat untuk dihabiskan hanya dengan “menyelesaikan pekerjaan”. Kita perlu ruang untuk mengejar hal-hal yang berdampak untuk diri kita, untuk orang lain, dan untuk dunia.
Dan langkah awalnya dimulai dari satu keputusan kecil yaitu :
- Berani memilih.
- Berani menyederhanakan.
- Berani fokus pada yang esensial.
Buku Essentialism
Menurut saya, buku ini recommended banget buat kamu yang pengin jadi lebih produktif—bukan dengan cara menyibukkan diri, tapi dengan mengerjakan hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup.
Essentialism ngajarin kita untuk berhenti jadi “manusia serba bisa” dan mulai jadi “manusia yang tahu prioritas.” Isinya dalam, penuh insight, dan bisa bikin kita mikir ulang soal cara kita mengatur waktu dan energi.
Tapi, sedikit catatan ya—gaya bahasa di buku ini agak “berat” karena banyak menggunakan kosakata profesional dan akademik. Jadi, mungkin butuh waktu untuk mencerna tiap bagian. Tapi menurut saya, justru di situlah letak “dagingnya.” Banyak kalimat yang bikin mikir dan bisa jadi bahan refleksi diri.
Kalau kamu termasuk yang suka baca buku-buku self development, menurut saya Essentialism ini layak banget kamu koleksi. Worth it, nggak ada ruginya.
Kalau kamu tertarik, kamu bisa langsung beli bukunya di Shopee lewat link di bawah ini:
Klik di sini untuk beli bukunya
Sekian terima kasih sudah membaca sampai habis, semoga bermanfaat. Sukses untuk Anda semua dan see you on the top…