Rope Jumping : Catatan Keberanian yang Saya Temukan di Ketinggian 80 Meter
Bagi saya, mencoba wahana rope jumping bukan sekadar soal memacu adrenalin atau mengejar sensasi. Ini adalah salah satu pencapaian personal terdalam saya di tahun 2025 ini, sebuah momen ketika saya benar-benar berhadapan langsung dengan wajah ketakutan saya sendiri. Takut jatuh, takut kehilangan kendali, takut pada ketinggian 80 meter yang berdiri nyata di depan mata, membisu sekaligus menggema dalam kepala.
Pengalaman ini memberi saya pelajaran yang lebih dalam dari yang saya kira: bertumbuh sering kali bukan tentang menambah kenyamanan, tapi justru tentang dengan sengaja melangkah ke zona yang membuat kita gentar. Dan jujur saja, memberanikan diri untuk ikut wahana ekstrem seperti ini bukanlah keputusan yang mudah, bahkan mungkin terdengar impulsif bagi saya.
Untuk ikut dan daftar dalam wahana extrem ini pun keputusan yang saya berikan mendadak sekali, 1 hari sebelum acara. Saya mengkonfirmasi pendaftaran langsung dengan Gus Farid selaku ketua sekaligus koordinator.
Dalam otak saya, ada gelombang ragu, cemas, dan seribu pertimbangan yang berputar-putar bagai karnaval dipikiran. Rasanya ingin mundur, mencari alasan dan menunda. Tapi ada suara kecil atau mungkin teriakan dalam diri yang bersikeras, “Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”
Lokasi rope jumping ini berada di Jembatan Segulung, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun. Sebuah tempat yang terbilang baru dan masih cukup jarang ditemui di peta wisata Madiun. Pemandangan di atas jembatan tersebut terbilang sangat canting sekali. Berada di lereng gunung wilis, suasananya dingin dengan di penuhi hutan lebat pepohonan yang masih asri.
Hari itu, bersama lebih dari 15 peserta lainnya, saya berdiri di ketinggian 80 meter di atas Jembatan Segulung. Dari atas, dunia terlihat berbeda. Bukan saja lebih kecil, tapi juga lebih sunyi. Angin terasa lebih kencang, mendesing di telinga, seolah menguji niat.
Suara-suara dari bawah obrolan, tawa, instruksi terdengar samar, seperti berasal dari ruang lain. Fokus saya hanya tertuju pada satu hal: tepian jembatan itu, dan langkah yang harus saya ambil.
Jantung berdetak sangat keras, berdebar kencang bagai drum dalam dada, dipompa oleh adrenalin murni tanpa jeda. Detik-detik sebelum terjun adalah momen paling panjang sekaligus paling singkat dalam hidup saya. Waktu seakan meregang dan memampat sekaligus.
Saat akhirnya melompat, setelah hitungan yang tidak lagi saya dengar pikiran seketika kosong. Blank. Sunyi. Tidak ada ruang untuk filosofi, refleksi, atau kata-kata motivasi. Hanya ada gravitasi, angin, dan tubuh yang sepenuhnya menyerah pada proses.
Namun, setelah beberapa detik terjun bebas, saat tali mulai mengencang dan gerakan melambat, barulah muncul sebuah rasa yang sulit dijelaskan, sebuah campuran lega, puas, tenang, dan syukur yang menyebar hangat dari dalam. Seperti beban yang selama ini mengendap di pundak, tiba-tiba luruh dan hilang tertiup angin di ketinggian.
Di titik itulah saya tersadar: banyak ketakutan dalam hidup ini sebenarnya hanya tinggal dan membesar di dalam kepala. Mereka terlihat monumental, menakutkan, dan mengintimidasi dari jauh.
Tapi ketika akhirnya kita melompat menghadapinya, ternyata kita jauh lebih kuat dan lebih siap dari yang kita kira. Ketakutan itu sering kali hanya gerbang yang harus dilewati untuk menemukan bagian diri yang lebih berani.
Saya juga sempat berpikir, di masa tua nanti, mungkin saya tak lagi punya fisik dan mental seberani sekarang. Kesempatan untuk mencoba hal-hal ekstrem seperti ini tidak selalu datang dua kali, dan waktu tidak pernah berjalan mundur.
Maka hari itu, saya memilih untuk melompat, bukan hanya dari sebuah jembatan, tapi juga dari keraguan, dari batas-batas yang saya buat sendiri, dari narasi “nanti saja” yang sering menunda-nunda hidup.
Paling tidak, kelak saya bisa bercerita, pada diri sendiri atau pada cucu di masa depan, bahwa saya pernah melakukan sesuatu yang dulu terasa mustahil. Bahwa saya pernah berdiri di atas ketakutan saya sendiri, menatapnya langsung, dan memilih untuk tidak mundur. Bahwa saya pernah jatuh, tapi dengan tali pengaman yang bernama keberanian.
Saat persiapan di atas jembatan, rasa takut itu nyata, dingin, dan menggigit. Tapi setelah terjun bebas, yang tersisa hanyalah rasa plong, damai, dan sebuah kepercayaan baru akan diri sendiri.
Ada kepuasan tersendiri bukan karena saya “mengalahkan” rasa takut, tapi karena saya bisa berdamai dengannya. Pengalaman ini bukan hanya tentang rope jumping, tapi tentang percakapan batin, tentang menghadapi diri yang paling rentan, dan menemukan bahwa di baliknya ada kekuatan yang sudah lama menunggu untuk ditemukan.
Buat teman-teman, khususnya warga Madiun dan sekitarnya yang penasaran atau tertarik menjajal wahana ekstrem ini, pantau terus Instagram @gunungwilisviamadiun.
Event rope jumping tidak diadakan setiap hari dan pesertanya sangat terbatas, biasanya hanya sekitar 15 orang per sesi. Kalau ada kesempatan, jangan terlalu lama ragu. Kadang, keberanian tidak membutuhkan kepastian sempurna, ia hanya butuh satu langkah kecil: mencoba.
Dan mungkin, seperti saya, kamu akan pulang membawa sesuatu yang lebih berharga dari sekadar foto atau video: sebuah pengingat bahwa kamu lebih berani dari yang kamu kira.
Baca juga : Rasa Takut Itu Menjadi Penunjuk Jalan, Bukan Penghalang
Terima kasih sudah membaca sampai habis. Semoga ada hal yang bisa kamu ambil dari pengalaman kecil saya ini. Sukses untuk Anda semua, dan see you on the top…
Related Posts
- Rasa Takut Itu Menjadi Penunjuk Jalan, Bukan Penghalang
- Di Balik Pertumbuhan Bisnis, Ada Rasa Takut yang Tak Pernah Diceritakan
- Zona Bertumbuh adalah Tempat yang Tidak Nyaman
- "Leg Day" Paling Mengerikan: Saat Prajurit TNI Mengajariku Melawan Batas Diri di Gym
- Orang sukses pasti sering gagal, dan Dia pandai mengalahkan rasa takut.
- Menyusuri Keindahan dan Sejarah Candi Cetho di Lereng Gunung Lawu

















