web counters
Kita Benar-Benar Butuh atau Hanya Ingin
Mindfulness

Selama ini, Kita Benar-Benar Butuh atau Hanya Ingin?

Akhir-akhir ini saya lagi senang mengumpulkan perlengkapan naik gunung di keranjang belanja. Mulai dari tas carrier, jaket outdoor, sepatu, tenda, alat masak, dan lain-lain. Jujur saja, belakangan ini muncul keinginan kuat untuk mendaki gunung. Saya ingin merasakan pengalaman baru, belajar hal-hal baru, dan menikmati suasana alam yang berbeda.

Makanya, daftar perlengkapan gunung di keranjang belanja makin panjang. Walaupun, ya… saya sendiri belum tahu kapan semuanya bakal kebeli satu per satu.

Karena barangnya banyak, saya sempat berhenti sejenak dan berpikir ulang: “Mana dulu yang benar-benar perlu saya beli?” Setelah mikir, akhirnya saya putuskan untuk membeli jaket outdoor terlebih dahulu. Perlengkapan lainnya bisa dicicil pelan-pelan di bulan berikutnya.

Saya memilih jaket karena saya sudah lama banget nggak beli jaket. Seingat saya, terakhir kali beli itu dua tahun lalu, dan itu pun cuma hoodie yang cuma cocok dipakai harian, bukan buat kegiatan outdoor. Selain itu, jaket bisa saya pakai untuk bepergian jauh, bukan cuma saat cuaca dingin. Jadi lebih multifungsi.

Setiap kali saya ingin membeli sesuatu, saya biasanya break dulu minimal 10 menit untuk bertanya pada diri sendiri:

Apakah barang ini saya butuhkan, atau hanya keinginan saja?

Saya nggak langsung bayar. Sering kali saya diamkan dulu, bahkan sampai berhari-hari, sampai pikiran saya lebih jernih. Kalau setelah itu masih terasa penting, baru saya beli.

Kalau barangnya memang kebutuhan dan sifatnya mendesak, tentu saya beli langsung. Tapi kalau hanya keinginan sesaat, saya lebih memilih menahan diri dulu.

Meski begitu, jujur saja, kadang saya tetap kecolongan. Ada aja momen ketika saya membeli sesuatu hanya karena ingin, bukan karena butuh. Dan akhirnya, barang itu cuma dipakai sekali lalu disimpan sampai berdebu.

Dari kejadian seperti itu, saya sadar: semakin sering menuruti keinginan tanpa pertimbangan, semakin penuh rumah dengan barang yang jarang terpakai. Lemari sesak, tempat perkakas berantakan, dan ketika sedang bersih-bersih muncul pertanyaan klasik:

Kenapa dulu saya beli barang ini, ya?”

Dalam hidup, sering kali kita samar membedakan mana yang benar-benar kita butuhkan dan mana yang hanya sekadar keinginan. Padahal, tidak semua yang kita inginkan cocok untuk kita, sementara hal-hal yang kita butuhkan justru sering kali tepat sasaran.

Contoh sederhana: makan tiga kali sehari — itu kebutuhan. Tapi jajan mie gacoan atau bakso? Itu keinginan. Menyenangkan, iya. Tapi bukan kebutuhan.

Semakin dewasa, pilihan hidup semakin banyak. Bukan cuma soal makan, tapi juga membeli barang, pergi ke tempat tertentu, bertemu seseorang, mencari pengakuan, dan sebagainya. Keinginan yang makin besar kadang bikin kita lupa bahwa bahagia dan tenang itu sering lahir dari kesederhanaan.

Keinginan kalau terus dikejar nggak akan bikin kita lebih puas. Justru bikin kita semakin lapar dan ingin lebih banyak lagi. Bisa jadi tanpa sadar, kita saat ini sedang mengalami hal itu.

Sering kali kita bilang “butuh” atau “perlu”, padahal sebenarnya cuma “ingin”. Kata “butuh” terdengar lebih penting dan mendesak, jadi mempermudah kita membenarkan keputusan. Padahal, banyak yang kita sebut kebutuhan hanyalah keinginan yang dibungkus alasan supaya terdengar wajar.

Pada akhirnya, kedewasaan bukan soal menahan semua keinginan, tapi mengenali dan memahaminya. Hidup bukan hanya tentang memenuhi yang kita butuhkan, tapi juga mengatur keinginan agar tidak menumpuk tanpa makna.

Baca juga : Apa yang Benar-Benar Penting dalam Hidup Kita? Sejenak, Mari Menentukan Prioritas dan Skala Prioritas di Kehidupan

Di antara dua kata itu — butuh dan ingin — kita belajar membedakan suara hati dari kesenangan sesaat. Mungkin di sanalah letak kebijaksanaan: tahu kapan harus mengikuti keinginan, dan kapan harus menundanya demi kebutuhan yang lebih penting.

0Shares