web counters
Ngopinya Bareng, Tapi Pada Sibuk Sendiri-Sendiri
Stories

Ngopinya Bareng, Tapi Pada Sibuk Sendiri-Sendiri

Malam minggu, sekitar pukul 21.00, saya memutuskan keluar rumah buat beli kopi. Sekalian cari angin dan ngobrol santai bareng teman-teman. Seperti biasa, warung kopi langganan jadi pilihan. Suasananya sederhana, nggak terlalu ramai, cocok buat ngobrol ringan setelah seminggu penuh aktivitas.

Tapi malam itu agak beda. Begitu sampai, saya malah merasa kayak orang asing. Bukan karena saya nggak kenal mereka, sebagian dari mereka adalah teman saya sendiri, tapi karena suasananya terasa… sepi tapi ramai. Ramai karena banyak orang, tapi sepi karena hampir semuanya tenggelam dalam layar gadget masing-masing.

Ada yang main Mobile Legends dengan suara efek game yang cukup nyaring. Ada yang pakai headset sambil menikmati lagu dari Spotify. Sisanya asyik scrolling sosial media, entah nyari apa. Saya sempat duduk sebentar, memperhatikan sekitar, lalu muncul pertanyaan di kepala:
“Ngapain mereka datang ke warung kopi, kalau cuma sibuk sama HP-nya masing-masing?”

Saya pun jadi mikir, “Apakah sekarang nongkrong memang cuma formalitas?
Apakah warung kopi cuma jadi tempat cari WiFi dan colokan, bukan lagi tempat ngobrol dan bertukar pikiran?

Saya pribadi, kalau lagi nongkrong di warung kopi, sebisa mungkin HP saya taruh. Kalau nggak ada yang penting-penting banget, ya nggak saya pegang. Karena buat saya, nongkrong itu momen buat hadir sepenuhnya, ngobrol, tertawa, bahkan debat ringan soal hal-hal receh.

Itu yang bikin kedai kopi terasa hidup, bukan cuma aroma kopinya, tapi juga interaksi manusianya.

Tapi sekarang tren itu mulai berubah. Untuk bisa hadir secara utuh begitu susah. Nongkrong di warung kopi justru jadi perpanjangan dari dunia digital masing-masing. Duduknya bareng, tapi pikirannya ke mana-mana. Hadir secara fisik, tapi nggak secara batin dan pikiran.

Saya sadar, setiap orang punya cara sendiri menikmati waktu luangnya. Nggak ada yang salah juga dengan bermain HP.

Tapi saya nggak bisa membohongi perasaan sendiri, malam itu saya merasa asing. Niat saya mau ngobrol, malah jadi kayak penonton di tengah keramaian digital.

Akhirnya saya cuma bertahan sekitar 30 menit. Nggak ada obrolan yang nyambung, nggak ada diskusi seru seperti biasanya. Semua tenggelam dalam dunia masing-masing, dan ya wess saya memilih pulang.

Apa Sih Esensinya dari Nongkrong?

Dari kejadian malam itu, saya sempat berhenti sejenak dan merenung. Rasanya ada yang hilang. Bukan dari warung kopinya, tapi dari makna di balik kebiasaan kita yang disebut “nongkrong”.

Dulu, warung kopi bukan sekadar tempat ngopi. Lebih dari itu, ia jadi ruang bertemu, berbagi cerita, tukar pikiran, bahkan tempat untuk diam bareng tapi tetap terasa terhubung. Obrolan ringan soal hidup, keluh kesah pekerjaan, bahkan candaan receh bisa jadi momen yang membekas.

Nongkrong itu dulu tentang kebersamaan yang hadir, bukan sekadar keberadaan fisik. Duduk melingkar, satu gelas kopi untuk dua jam cerita. Kadang nggak penting apa yang dibicarakan, tapi siapa yang kita ajak bicara.

Namun kini, perlahan maknanya bergeser. Warung kopi masih ramai, tapi interaksinya sunyi. Masing-masing larut dalam dunianya sendiri, sibuk dengan layar 6 inci yang seperti tak ada habisnya. Kita hadir, tapi tidak benar-benar hadir.

Bukan berarti kita harus memusuhi teknologi. Gadget bukan musuh, ia alat. Tapi yang perlu dijaga adalah kesadaran: apakah kita yang mengendalikan teknologi, atau justru sebaliknya?

Mungkin sesekali kita perlu jujur ke diri sendiri dan bertanya:

“Saya datang ke sini untuk apa?”

Apakah memang ingin menikmati waktu bersama teman, atau sekadar cari tempat duduk yang nyaman buat scroll timeline tanpa distraksi?

Karena yang bikin momen jadi berarti itu bukan kopinya, bukan juga warungnya. Tapi kehadiran kita yang utuh-penuh, yang nggak cuma duduk, tapi juga menyimak, tertawa, menanggapi, dan nyambung.

Nongkrong bukan cuma tentang mengisi waktu, tapi soal membangun koneksi. Bukan koneksi internet, tapi koneksi hati. Dan itu nggak bisa didapat kalau kita cuma hadir setengah, sisanya sibuk di dunia lain yang ada di layar.

Terima kasih sudah membaca sampai habis, semoga bermanfaat, sukses untuk Anda semua. Dan see you on the top…

0Shares