web counters
Kapan Kita Berhenti Bermimpi tentang Hidup yang Lebih Layak
Stories

Kapan Kita Berhenti Bermimpi tentang Hidup yang Lebih Layak?

Malam ini, sambil duduk di teras rumah ditemani secangkir kopi, pikiran saya melayang pada sebuah pertanyaan yang mungkin terdengar klise, tapi justru membuat saya merenung:

“Sampai kapan kita terus mengimpikan hidup yang lebih layak?”

Saya yakin, hampir setiap orang memiliki mimpi serupa, keinginan untuk hidup lebih baik, baik dari segi ekonomi, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, maupun kehidupan sosial. Bisa dibilang, ini mencakup hampir semua aspek kehidupan.

Namun, semakin kita mengejar mimpi itu, rasanya seperti berlari di treadmill. Terus bergerak, tapi seolah tak pernah sampai. Seperti mengejar bayangan sendiri tanpa kepastian kapan itu akan terwujud.

Baca juga Menyadari Diri, Hadir Penuh Secara Utuh, Pada Hari ini, Saat ini dan Kini

Standar “Hidup Layak” yang Tak Pernah Jelas

Tidak ada yang salah dengan bermimpi, tapi juga tidak ada yang sepenuhnya benar. Pasalnya, standar “hidup layak” itu sangat subjektif. Bagi si A, hidup layak mungkin berarti memiliki rumah nyaman dan tabungan cukup. Bagi si B, mungkin berarti bisa traveling ke luar negeri setiap tahun.

Yang menjadi masalah adalah ketika standar itu terus bergeser, seiring dengan meningkatnya keinginan dan tuntutan hidup. Kita terus mengejar sesuatu yang seolah selalu berada sedikit di luar jangkauan.

Realita yang Semakin Berat

Di tengah impian akan kehidupan yang lebih baik, realita justru seringkali tak bersahabat.

  • Kalangan menengah ke bawah semakin kesulitan memenuhi kebutuhan dasar akibat inflasi dan ketidakstabilan ekonomi.
  • Kalangan menengah semakin terhimpit oleh persaingan ketat di dunia kerja dan daya beli yang terus menurun.
  • Ketimpangan sosial semakin lebar, membuat jarak antara mimpi dan kenyataan terasa semakin jauh.

Lalu, Haruskah Kita Berhenti Bermimpi?

Tentu tidak. Mimpi adalah bahan bakar untuk terus bergerak. Namun, mungkin yang perlu kita ubah adalah cara kita memandang “hidup layak” itu sendiri.

  • Fokus pada progres, bukan kesempurnaan. Setiap langkah kecil menuju perbaikan adalah pencapaian.
  • Syukuri apa yang sudah dimiliki. Bukan berarti berpuas diri, tapi mengakui bahwa kebahagiaan tidak selalu bergantung pada hal-hal material.
  • Hidup layak bukanlah tujuan akhir, tapi proses. Selama kita terus belajar, beradaptasi, dan berusaha, kita sudah berada di jalan yang benar.

Mungkin pertanyaannya bukan “Kapan kita berhenti bermimpi?”, tapi “Bagaimana kita bisa tetap bermimpi tanpa terjebak dalam ilusi yang tak berujung?”

Pada akhirnya, hidup bukan tentang mencapai satu titik sempurna, tapi tentang bagaimana kita menjalani setiap prosesnya dengan sadar, jujur, dan manusiawi. Bermimpi tetaplah penting, namun jangan sampai mimpi itu justru membuat kita lupa menikmati hari ini.

Kita bisa tetap berharap tanpa terbebani. Kita bisa tetap bergerak tanpa merasa tertinggal. Dan kita bisa tetap bermimpi, tanpa harus kehilangan akal sehat maupun rasa syukur.

Karena mungkin, hidup yang lebih layak itu bukan selalu soal “lebih banyak”, tapi soal “lebih cukup” — cukup untuk membuat kita merasa damai, cukup untuk membuat kita tetap manusia.

0Shares