Stabilo Bukan Sekadar Alat Tulis, Tapi Jejak Perjalanan Pengetahuan
Pagi pukul 05.00, sehabis sholat subuh, saya duduk di meja belajar. Udara masih segar, dan sunyi pagi membuat suasana terasa damai. Saya membuka kembali buku yang kemarin belum tuntas saya baca, “Rich Dad Poor Dad”, sambil ditemani secangkir kopi hangat yang mengepulkan aroma yang khas.
Halaman demi halaman saya telusuri, mata saya larut dalam cerita dan gagasan yang disampaikan oleh Robert T Kiyosaki. Namun, di tengah kenikmatan itu, tiba-tiba saya merasa jengkel. Stabilo saya… hilang. Benda kecil yang biasanya setia berada di sisi buku, kini entah kemana.
Refleks, saya mulai mencari. Meja belajar saya geledah. Pandangan saya menyapu rak buku, lalu beralih ke laci yang saya buka berkali-kali. Tetap saja nihil.
Hadeh… rasanya tuh, jengkel banget!
Mungkin saya lupa menaruhnya, atau ibu saya merapikannya ke tempat yang tak terduga. Maklum, kamar anak laki-laki sering kali berantakan, tumpukan buku berserakan, alat tulis tersebar di sana-sini, ditambah camilan yang kadang terselip di antara tumpukan kertas. Ibu saya sering turun tangan, merapikan semua itu tanpa saya minta.
Tapi kehilangan stabilo pagi ini rasanya seperti kehilangan sahabat membaca. Bagi saya, stabilo bukan sekadar alat tulis. Ia adalah teman yang selalu hadir saat saya menemukan kalimat yang menusuk pikiran atau menggugah hati. Saat momen itu tiba, tangan saya otomatis bergerak memberi garis hijau di atasnya, sebagai cara saya mengikat ilmu, menyimpan gagasan, dan menandai ide berharga yang mungkin suatu saat akan saya butuhkan.
Saya percaya, setiap garis stabilo adalah penanda perjalanan pikiran. Saat buku itu saya buka lagi di masa depan, saya tak perlu membaca ulang dari awal. Cukup membuka halaman yang berwarna hijau itu, dan seketika saya akan kembali pada momen ketika kalimat tersebut pertama kali menginspirasi saya.
Membaca tanpa stabilo, bagi saya, ibarat masak sayur tanpa garam, kurang lengkap rasanya. Ada sesuatu yang hilang, semacam bumbu rahasia yang membuat pengalaman membaca terasa hambar. Stabilo adalah teman setia yang selalu menemani perjalanan saya menelusuri halaman demi halaman. Ia membantu saya merangkum ribuan kata menjadi butiran-butiran mutiara yang mudah saya temukan kembali di kemudian hari.
Setiap garis warna yang saya buat bukan sekadar coretan. Itu adalah jejak pikiran, penanda momen ketika sebuah ide berhasil mengetuk hati atau membuka cara pandang baru. Saat saya membuka kembali buku-buku lama, garis-garis itu seperti pintu waktu yang membawa saya kembali ke detik ketika saya pertama kali tersentuh oleh kalimat tersebut.
Yang jarang diketahui banyak orang, stabilo sebenarnya adalah nama merek alat tulis asal Jerman, Schwan-Stabilo. Mereka tidak hanya memproduksi pensil, pulpen, dan krayon, tetapi juga memiliki lini khusus pena penyorot yang mendunia: Stabilo Boss. Produk ini lahir pada tahun 1971 berkat inovasi Günter Schwanhäußer, yang terinspirasi dari tren baca cepat (speed reading) di Amerika Serikat. Dari situlah lahir bentuk dan warna khas stabilo yang kita kenal sekarang, ikon kecil yang diam-diam merevolusi kebiasaan membaca dan mencatat.
Baca juga : Buku adalah Guru Terbaik Di Dunia
Bagi sebagian orang, menandai tulisan dengan stabilo mungkin hanya rutinitas kecil, sesuatu yang dilakukan tanpa banyak dipikirkan. Tapi bagi saya, ini adalah bagian dari ritual membaca, sebuah kenikmatan yang membuat setiap buku terasa lebih hidup. Stabilo bukan hanya memberi warna pada kertas, tapi juga pada proses belajar saya.