Bijaksana adalah Mahkota dari Sebuah Buku
Malam itu, secangkir kopi hitam di Kedai Mucoffee menemani obrolan ngalur-ngidul saya dengan Gus Hayik. Di balik heningnya malam Minggu, percakapan kami mengalir dari hal-hal ringan hingga obrolan yang paling dalam. Dan dalam heningnya kota yang sudah tertidur, sebuah kesadaran mulai terendap dalam benak saya: tentang betapa pentingnya peran literasi dalam membentuk jalan hidup seseorang.
Pikiran saya pun melayang ke sebuah data yang kerap menghantui: betapa rendahnya tingkat literasi baca di negeri kita. Berbanding terbalik dengan Singapura, tetangga dekat di seberang Batam, di mana budaya membaca telah menjadi napas sehari-hari. Sebuah ironi yang tak terelakkan. Negeri jiran itu, meski miskin sumber daya alam, mampu melesat menjadi macan Asia. Bukan tanpa sebab. Tapi, obrolan ini membuat saya menyadari sesuatu yang lebih hakiki.
Kemajuan sebuah bangsa, dengan segala indikator ekonominya, memang bukanlah satu-satunya tolok ukur kebahagiaan. Tapi, justru di situlah letak refleksi yang saya pikirkan : Adakah hubungan antara melek literasi dengan ketenangan batin dalam menjalani hidup?
Dari obrolan itu, saya mulai melihat pola. Membaca bukan sekadar aktivitas memindai huruf. Ia adalah sebuah ritual untuk mencapai tiga ruang batin: keterbukaan pikiran, kesadaran penuh, dan kebijaksanaan.
Mustahil rasanya meraih ketiganya jika kita hanya mengandalkan suguhan video atau audio yang instan. Keduanya memberikan informasi, tetapi seringkali tanpa ruang untuk jeda, untuk merenung. Membaca memaksa kita untuk berhenti sejenak, mengunyah kata, dan berdialog dengan pikiran sang penulis.
Membaca bukanlah arena eksklusif bagi mereka yang berlabel “pintar“. Justru, membacalah yang secara diam-diam mengukir seseorang menjadi pribadi yang lebih baik. Tujuannya bukan untuk pamer kepintaran atau menumpuk pengetahuan bagai koleksi medali. Esensinya lebih dalam dari itu. Setiap halaman yang kita telan, setiap wisdom yang kita serap, ibarat tetesan air yang mengikis batu kesadaran. Lama-kelamaan, terbentuklah kolam kebijaksanaan yang jernih di dalam diri.
Dan pada akhirnya, bijaksanalah yang menjadi mahkota tertinggi dari kebiasaan membaca ini. Seorang pembaca yang bijak memiliki banyak mentor tak kasat mata—para penulis dari berbagai zaman dan belahan dunia. Setiap keputusan yang diambil bukan lagi reaksi spontan, tetapi respons yang terukur, lahir dari perpustakaan pengalaman yang telah ia baca.
Memang, mengawali kebiasaan membaca bagai mendaki bukit yang curam. Kebosanan dan kejenuhan adalah batu sandungan pertama yang nyata. Namun, di balik semua rintangan itu, tersembunyi sebuah rahasia: bahwa pemaksaan yang konsisten, yang dilandasi oleh “mengapa” yang kuat, pada akhirnya akan berubah menjadi sebuah kenikmatan. Dan saat itu tiba, buku bukan lagi beban, melainkan pelarian—sebuah ketagihan yang membebaskan.