Pukul sembilan pagi yang cerah, saya telah janji bertemu dengan seorang klien dari Semarang untuk membahas sebuah proyek. Saya mengusulkan untuk bertemu di Starbucks saja. Alasannya praktis: Starbucks sudah buka sejak pukul 08.00, sementara kebanyakan kafe lain di sekitar sini masih tutup. Klien pun menyetujui usulan saya. Pertemuan kami berjalan
Selengkapnya...Pertama kali saya naik pesawat dari Yogyakarta menuju Singapura, ada sebuah perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Saya terpesona di antara awan, menyaksikan keindahan ciptaan Tuhan dari ketinggian. Gugusan awan putih yang lembut dan langit biru yang jernih menciptakan momen yang begitu membahagiakan. Impian lama untuk merasakan naik pesawat akhirnya
Selengkapnya...Menikmati hembusan angin segar di pagi hari, merasakan gemerisik daun-daun yang diterpa langkah kita, dan mendengar kicauan burung yang bersahut-sahutan—sepertinya hal-hal sederhana ini telah menjadi kemewahan di zaman kita. Ritme kehidupan yang serba cepat seolah mencuri pagi, menggantinya dengan desakan untuk segera bersiap mengejar waktu. Bahkan untuk sejenak menikmati hangatnya
Selengkapnya...Malam minggu ini terasa berbeda. Guru bahasa Inggris saya tiba-tiba mengajak saya dan Mbak Susi untuk bertemu dan ngopi bersama. Mungkin, di balik ajakan mendadaknya itu, terselip rasa rindu terhadap murid-murid lamanya — termasuk saya, yang dulu dikenal cukup “bandel” di kelas. Sudah tiga bulan berlalu sejak kami terakhir mengikuti
Selengkapnya...Hari itu, saya lagi beristirahat di pinggir kolam renang. Tiba-tiba, datang seorang bapak-bapak bertubuh kekar, dengan tato di lengan kanannya. Jujur, kesan pertama saya agak negatif. Dalam hati muncul pikiran aneh: “Jangan-jangan ini preman.” Maklum, tampangnya cukup sangar. Kita sering menilai dari penampilan dulu, kan? Tapi dugaan saya langsung buyar
Selengkapnya...

