web counters
Mengelola Emosi di Negeri yang Tak Pernah Sepi dari Masalah
Opinion

Mengelola Emosi di Negeri yang Tak Pernah Sepi dari Masalah

Upaya menjaga kewarasan di tengah berita negatif yang datang bertubi-tubi.

Berita duka tentang bencana di Sumatra bukan hanya meninggalkan luka bagi saya, tapi juga menyalakan kembali rasa kecewa yang selama ini berusaha saya redam terhadap para pemimpin negeri ini.

Entahlah… sulit rasanya mencari alasan untuk tetap optimis ketika setiap hari beranda sosial media hanya dipenuhi kabar yang membuat hati semakin berat.

Rasanya tiap guliran timeline menambah beban, bukan memberi harapan.

Apakah di berandamu juga seperti itu?

Di satu sisi, kita ingin tetap peduli. Kita ingin up-to-date dengan kondisi negara, ingin tahu apa yang terjadi, dan ingin berkontribusi lewat suara atau kepedulian kita. Tapi di sisi lain, derasnya berita negatif membuat saya sering bertanya-tanya: sampai kapan kita harus menyaksikan drama yang sama berulang-ulang?

Kritik datang dari berbagai kalangan—orang awam, tokoh masyarakat, artis, hingga influencer—semua menyoroti menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Namun, apakah suara-suara ini mampu mengubah keadaan? Saya tidak punya jawabannya. “Entahlah…”

Yang saya punya hanya tanda tanya besar: kapan ini semua membaik?

Jujur saja, saya mulai lelah.
Lelah melihat, lelah mendengar, lelah membaca. Lelah merasa kecewa.

Bukan berarti saya ingin menutup mata dan pura-pura tidak tahu. Saya hanya berusaha menjaga diri sendiri agar tidak terus-menerus terseret dalam pusaran emosi yang menguras energi.

Ada kalanya kita perlu menarik napas dalam-dalam, membatasi konsumsi berita, dan mengakui bahwa emosi yang tidak dikelola bisa menjadi bom waktu bagi kesehatan mental kita.

Sebab, jika dibiarkan berlarut-larut, rasa kecewa dan kemarahan itu bisa memengaruhi seluruh aspek kehidupan. Produktivitas menurun, konsentrasi buyar, mood kacau, dan tubuh pun ikut merespons.

Kita tidak diciptakan untuk memikul beban kemarahan yang tak berkesudahan. Memberikan suara, menyampaikan kritik, atau menyatakan pendapat adalah hak kita. Tapi menyimpan kemarahan sampai menggerogoti hidup? Itu yang berbahaya. Dan itu pula yang paling saya takutkan.

Selama bencana Sumatra ini, saya mencoba mencatat beberapa hal yang banyak diperbincangkan publik. Tidak untuk memperkeruh keadaan, tetapi untuk memahami kenapa banyak orang merasa kecewa:

Aksi Menteri Perdagangan Zulhas

Zulhas datang membawa sembako dan ikut membersihkan lumpur. Sebagian orang memuji, tetapi lebih banyak yang mempertanyakan. Pasalnya, beliau dulu menjabat sebagai Menteri Kehutanan—posisi yang seharusnya bertanggung jawab terhadap isu deforestasi. Banyak netizen menilai aksinya hanya pencitraan. Benar atau tidak, biarlah Tuhan dan waktu yang menguji ketulusan. Jika tulus, hasilnya akan terlihat. Jika tidak, waktu akan mengungkapkannya dengan caranya sendiri.

PBNU disebut-sebut menjadi “jubir tambang”

Isu ini menjadi percakapan besar di media sosial. Banyak warga merasa bingung sekaligus kecewa. Lembaga yang selama ini dihormati oleh masyarakat justru dianggap berdiri di sisi yang berlawanan dengan kepentingan lingkungan. Kritik pun berdatangan dari berbagai arah, dan kepercayaan masyarakat kembali goyah.

Bantuan sembako dari DPR RI

Di tengah situasi darurat, masyarakat mengharapkan kehadiran pemerintah yang sigap dan sensitif. Namun banyak netizen menilai bantuan sembako dari DPR RI tidak cukup relevan, terutama jika dibandingkan dengan figur seperti Bang Ferry Irwandi yang dianggap lebih responsif dan dipercaya masyarakat secara langsung.

Mungkin itu juga alasan kenapa akhir-akhir ini saya merasa semakin lelah. Rasanya kekecewaan yang menumpuk membuat saya akhirnya memilih untuk menghentikan sementara konsumsi berita negatif yang terus muncul di timeline. Bukan berarti saya ingin tutup mata, bukan berarti saya tidak peduli. Justru karena peduli itulah saya perlu menjaga diri sendiri. Saya sadar, kalau hati sudah penuh dengan kemarahan dan pikiran sudah sesak, saya tidak akan bisa melakukan apa-apa dengan jernih.

Bagi saya saat ini cukup melakukan hal yang benar-benar mampu saya lakukan: membantu lewat donasi, mengirimkan doa terbaik, dan menyebarkan informasi yang bermanfaat untuk saudara-saudara di Sumatra. Selain itu, saya perlu memberi ruang dalam pikiran saya untuk bernapas—untuk tetap waras di tengah gempuran kabar buruk.

Untuk Indonesia, saya sudah menuliskan kritik, saran, dan harapan saya sejujurnya. Semua itu saya sampaikan sebagai tanda cinta, bukan sebagai bentuk kebencian. Tapi setelah itu, saya memilih untuk berdamai dengan keadaan. Bukan menyerah, hanya menerima bahwa ada hal-hal yang di luar kendali kita. Meskipun saya tahu betul, kondisi negara ini sedang jauh dari kata baik-baik saja.

Namun, bagi kamu yang masih ingin terus bersuara—teruslah bersuara. Negeri ini memang butuh orang-orang yang berani menyampaikan aspirasi. Orang-orang yang tidak takut mengkritik, yang tidak gentar mengingatkan. Tapi satu hal yang perlu disadari: jangan sampai suara yang kamu keluarkan dikendalikan oleh kemarahan yang tidak terkelola. Karena ketika emosi negatif mendominasi, niat baik bisa berubah menjadi bukti bahwa keadaan semakin keruh. Dan itu bukan tujuan kita.

Pada akhirnya, tulisan ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Bukan untuk menunjuk siapa yang paling salah, siapa yang paling benar. Saya hanya sedang berusaha memahami diri sendiri. Sedang belajar menjadi manusia yang lebih waras, lebih tenang, dan lebih mampu memilah mana yang layak ditanggapi dan mana yang tidak. Di tengah derasnya kabar buruk, saya ingin tetap peduli tanpa harus kehilangan ketenangan batin. Saya ingin tetap berempati kepada korban bencana, tanpa membiarkan rasa kecewa merusak hati saya sendiri.

Kita mungkin tidak bisa mengubah semua hal. Kita bukan pengendali negara, bukan pemilik kuasa, bukan pula penentu arah bangsa ini. Tapi kita selalu bisa mengendalikan bagaimana kita bereaksi. Kita bisa memilih tetap peduli meski luka terasa. Kita bisa tetap kritis tanpa menjadi penuh amarah. Kita bisa berpegang pada kebaikan, meski suara negatif datang dari segala arah.

Jika semesta mengizinkan, semoga bencana ini menjadi titik balik. Titik yang membuat semua pihak—pemerintah, pemimpin, masyarakat—lebih sadar, lebih peka, lebih bertanggung jawab. Bukan hanya titik balik bagi alam yang sedang terluka, tetapi juga bagi cara kita berjalan sebagai bangsa: lebih jujur, lebih adil, lebih berpihak pada kebenaran.

Karena di ujung semua rasa kecewa, masih ada harapan kecil yang saya simpan. Harapan bahwa suatu saat, Indonesia benar-benar menjadi tempat yang layak kita banggakan—bukan hanya untuk dipuji, tapi juga untuk dipercaya.

Terima kasih sudah membaca sampai habis. Sukses untuk Anda semua dan see you on the top…

0Shares